Selama ini, banyak pihak menganggap yang terpenting dalam sektor pertanian adalah masalah teknis untuk meningkatkan hasil panen. Padahal ada banyak aspek lain dalam pertanian yang juga penting dan perlu mendapat perhatian serius. Salah satu aspek itu adalah aspek pembiayaan usaha tani. Pembiayaan usaha tani sendiri tersusun dari banyak komponen seperti pendapatan dari pemasaran produkpertanian, subsidi pemerintah, dan kredit dari lembaga keuangan.
Di Indonesia, aspek pembiayaan usaha tani ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah dan lembaga keuangan formal. Petani masih bergulat dengan pembiayaan usaha taninya. Penyebab mendasar adalah tidak adanya jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas pertanian. Ini memaksa petani—terutama petani skala kecil—terus “berjudi” dengan usaha mereka. Setiap saat mereka harus siap merugi. Bisa karena serangan hama penyakit, harga komoditas pertanian yang jatuh di pasaran, atau tidak terserap pasar karena kualitas buruk.
Lembaga keuangan formal biasanya menganggap sektor pertanian adalah sektor penuh risiko terkait jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas yang tidak stabil. Ketidakpastian usaha akibat serangan hama, harga yang jatuh di pasaran, atau tidak laku di pasar karena kualitas yang buruk adalah beberapa realitas yang dialami petani. Selain itu, ada juga ketergantungan pemenuhan modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal. Ini menyebabkan penentuan harga jual rendah yang tidak bisa ditolak oleh petani. Perlu lebih banyak lembaga-lembaga keuangan mikro pedesaan yang memudahkan petani mengakses modal untuk membiayai usaha taninya.
Dalam upaya membangun sektor pertanian sebagai landasan perekonomian dan meningkatkan pendapatan rakyat kecil demi pemerataan hasil pembangunan, pemerintah Indonesia telah melaksanakan program–program perkreditan yang ditujukan kepada petani dan pengusaha kecil sejak Repelita I.
Dimulai dengan kredit Bimas (Bimbingan Massal) pada tahun 1972, muncullah banyak program kredit untuk komoditas lainnya, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kinerja Permanen (KMKP), sampai Kredit Usaha Tani (KUT) pada akhir pemerintahan Orde Baru. Ciri umum kredit program pemerintahan adalah bersuku bunga murah, berjangka waktu cukup lama, memperoleh dana likuiditas dari bank sentral, dan resiko kreditnya ditanggung pemerintah. Karena kebijakan kredit pertanian semacam ini lazim dilaksanakan di negara berkembang selama lebih dari dua dasawarsa, maka sering disebut sebut sebagai program kredit “tradisional” atau “konvensional”.
Sementara itu, di pedesaan sendiri rakyat telah lama memiliki lembaga-lembaga keuangan “lokal” atau “tradisional” yang melayani kebutuan mereka berazaskan swadaya dan pendekatan pasar. Lembaga-lembaga tersebut disebut “lembaga keuangan pedesaan” (LKP) atau yang akhir-akhir ini lebih dikenal dengan sebutan ”lembaga keuangan mikro” (LKM). LKP yang menjadi obyek penelitian ini adalah kelompok swadaya masyarakat (KSM), Badan Kredit Desa (BKD), dan Badan Kredit Kecamatan (BKK). LKP tersebut, selain kurang memperoleh perhatian, juga secara ironis terkena dampak dari kebijakan yang memberikan prioritas kepada program-program kredit murah bersubsidi dan pendirian LKP-LKP baru versi beberapa departemen
1. Rendahnya tingkat pelunasan kredit
2. Rendahnya moralitas di bidang perkreditan aparat pelaksana
3. Rendahnya tingkat mobilisasi dana masyarakat.
Selain adanya hal-hal yang tidak memuaskan pada lembaga keuangan yang melaksanakannya, lembaga keuangan formal juga memiliki kelemahan-kelemahan yang menjadi kendala bagi petani terhadap akses pada lembaga keuangan formal. Hal-hal terseut diantaranya, yaitu :
1. Jangkauan pelayanan kredit atau pembiayaan masih sangat terbatas. Bahkan untuk bank tertentu masih ada yang hanya melayani masyarakat sekitar kota kabupaten atau kota kecamatan
2. Persyaratna atau aplikasi pengajuan kredit masih sangat sukar sehingga tidak semua masyarakat dapat mengakses pinjaman yang disalurkan. Terlebih lagi untuk sector pertanian yang dipandang sangat berisiko, pihak perbankan cenderung lebih berhati-hati lagi
3. Jangka waktu proses pencairan kredit relative lama karena harus ada screening dan checking
4. Biaya transaksi masih dianggap terlalu besar
5. Persyaratan agunan dengan menetapkan barang yang telah memiliki kekuatan hokum formal (sertifikat / BPKB) dirasa masih cukup memberatkan
6. Penilaian terhadap nilai agunan cenderung sangat underestimate sehingga sangat berpengaruh terhadap nilai pinjaman yang diberikan.
Secara garis besar, factor yang sangat menonjol dalm akses petani terhadap badan keuangan formal adalah petani Indonesia yang masih sangat lemah mengakses sumber-sumber permodalan formal, disebabkan lemahnya kepemilikan modal, prosedur yang tidak sederhana dan persayaratan kolateral yang harus dipenuhi oleh petani. Serta pihak perbankan tidak tertarik untuk membiayai sektor pertanian yang dipandang berisiko tinggi, baik karena gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman, maupun fluktuasi harga output.
STUDI KASUS
Penyerapan Kredit Pertanian Masih Rendah
Siwi Nurbiajanti | Benny N Joewono | Kamis, 31 Maret 2011 | 21:48 WIB
TEGAL, KOMPAS.com — Penyerapan kredit untuk sektor pertanian di wilayah eks Karesidenan Pekalongan, Jawa Tengah, masih rendah. Data dari Bank Indonesia Tegal, Kamis (31/3/2011), penyerapan kredit untuk sektor tersebut masih kurang dari 3 persen.
Pada triwulan IV 2010, penyerapan kredit sektor pertanian di wilayah itu sekitar 2,54 persen dari total kredit yang disalurkan bank-bank umum dan BPR. Nilai kredit pertanian pada triwulan IV 2010 sebesar Rp 283 miliar, pada triwulan III sebesar Rp 301 miliar, pada triwulan II sebesar Rp 275 miliar, dan pada triwulan I sebesar Rp 231 miliar.
Kredit yang disalurkan di eks Karesidenan Pekalongan terkonsentrasi pada sektor lainnya (konsumtif), sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor industri pengolahan. Pangsa kredit sektor-sektor tersebut masing-masing sekitar 56,77 persen, 28,19 persen, dan 7,52 persen.
Pimpinan Bank Indonesia Tegal Yoni Depari, di sela-sela Workshop Upaya Stabilisasi Harga dan Peningkatan Produktivitas Pertanian", di kantor BI Tegal, mengatakan, penyerapan kredit pertanian masih rendah karena kredit sektor pertanian dianggap memiliki risiko tinggi. "Hal itu akibat fluktuasi harga pertanian yang tinggi. Jadi, bank tidak berani memberi kredit," katanya.
Padahal, potensi petani sangat besar karena sekitar 60 persen penduduk di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu, salah satu upaya mendorong peningkatan penyerapan kredit sektor pertanian dengan menstabilkan harga produk pertanian.
Hal itu, antara lain, melalui pembentukan kluster komoditas pertanian. BI Tegal, lanjutnya, juga akan melakukan survei bagi para petani yang dinilai layak mendapatkan kredit dari bank.
Melalui survei itu akan dibuat database sektor pertanian, nama-nama petani pelaku, dan produk pertanian yang dihasilkan sehingga bisa dijadikan acuan bagi bank dalam menyalurkan kredit.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Tegal Karwadi mengatakan, pemerintah daerah terus mendidik dan membimbing petani dengan teknologi sehingga bisa menghasilkan produk yang berkualitas. "Pemkab Tegal juga mendidik petani agar membentuk kluster pertanian. Dengan kluster, pasar terjamin, sehingga bank percaya," ujarnya.
Rintisan kluster pertanian di Kabupaten Tegal dimulai sejak lima tahun lalu, berupa kuster jagung. Saat ini, kluster-kluster pertanian sudah banyak terbentuk di Kabupaten Tegal, antara lain kluster pepaya, nanas, hortikultura (cabai, kubis, dan kentang), serta kluster melati.
PEMBAHASAN KASUS
Kasus yang terjadi di Bank Indonesia di Tegal, dimana pada triwulan IV 2010, penyerapan kredit sektor pertanian di wilayah itu sekitar 2,54 persen dari total kredit yang disalurkan bank-bank umum dan BPR memang begituah pada kenyataannya di lapangan. Nilai kredit pertanian pada triwulan IV 2010 sebesar Rp 283 miliar, pada triwulan III sebesar Rp 301 miliar, pada triwulan II sebesar Rp 275 miliar, dan pada triwulan I sebesar Rp 231 miliar.
Dari data tersebut dapat dilihat penurunan persentase penyerapan kredit sector pertanian dari tiap triwulan ke triwulan. Penurunan dan rendahnya persentase penyerapan kredit sector pertanian ini menurut saya memang tidak akan berbeda jauh dari factor-faktor akses petani terhadap lembaga keuangan formal. Sektor pertanian memang sektor yang beresiko tinggi ditinjau dari hasil produksinya. Maksud beresiko tinggi di sini tak lain karena produk pertanaian di Indonesia yang punishable dan dalam proses budidayanya masih sangat bergantung pada kondisi alam. Contohkan saja pada salah satu produk pertanian, sayur-sayuran. Sayur-sayuran adalah produk pertanian yang mudah rusak. Misalnya saja kol yang dibudidayakan di Lembang dan hendak di distribusikan ke daerah lain di luar Jawa. Dalam perjalanannya, jika tidak tercover dengan baik maka kol bisa mengalami kerusakan dan kerusakan tersebut bias menimbulkan kebusukan. Jika sudah terjadi hal seperi itu, maka tentu saja nilai jualnya akan turun. Hal seperti ini lah yang ditakutkan oleh pihak bank untuk memberikan kredit pertanian.
KESIMPULAN
Sebenarnya, banyak pelajaran telah kita peroleh. Kemajuan negara-negara umumnya sangat ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Kemajuan pertanian bukan hanya diperlihatkan oleh peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk-produk pertaniannya semata, tetapi lebih kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan, dalam suatu proses transformasi ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan apabila pertanian tumbuh menjadi sektor yang kuat dan sehat. Akar dari berkembangnya proses tersebut dicirikan oleh berkembangnya industri-industri berbasis pertanian sebagai landasan kokoh dari perkembangan perekonomian suatu negara maju. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat dijadikan cermin bagi Indonesia.
source
Jurnal Ekonomi Rakyat EDITORIAL (Edisi 2011-01-10) “POLITIK PERTANIAN YANG MENSEJAHTERAKAN PETANI”
“Peran perbankan nasiona dalam pembiayaan sector pertanian di Indonesia” oleh Pusat Analisil Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian
No comments:
Post a Comment